Mencari Pemimpin PMB Unhas Latenritatta

Lao Sappa Deceng, Lisu Mappadeceng

Pergi mencari kebaikan, pulang memperbaiki

“Hakekat Sompe/ merantau”

        Latenritatta atau Arung Palakka adalah simbol pemberontak, simbol perlawanan terhadap kezaliman, simbol intelektualitas, simbol manusia pemberani yang tercerahkan. Meskipun tak dapat dipungkiri bahwa belakangan ini, mulai ada beberapa pihak yang menggunakan nama besar tersebut untuk kepentingan tertentu yang ketika dikaji secara lebih dalam, sangat jauh dari nilai-nilai yang diajarkan oleh Arung Palakka.

                Salah satu tantangan yang dihadapi oleh para pengurus lembaga saat ini, termasuk pengurus organisasi daerah (organda) adalah benturan antara realitas yang semakin pragmatis dengan nilai-nilai idealitas yang harus diperjuangkan. Tapi bagi pengurus Latenritatta, penulis yakin bahwa hal tersebut bukanlah menjadi persoalan yang berarti, karena memang dari dulu Latenritatta dikenal sebagai organisasi daerah yang memiliki independensi serta hidup dalam kesederhanaan yang penuh kekeluargaan.

               Penulis selalu mengingat pesan salah satu senior yang juga pernah menjadi pengurus Latenritatta di zamannya. Bahwa Latenritatta secara filosofis memang dibentuk untuk membuktikan kepada semua pihak, bahwa di setiap zaman selalu ada anak muda yang tak bisa dibeli. Anak muda yang setia pada garis perlawanan dan idealisme, meskipun harus menghadapi cemoohan beberapa pihak, seperti bahasa “jangan sok hebat, jangan sok idealis, tapi realistis sajalah”. Ketika kita mengkaji sejarah, ternyata Soekarno, Hatta dan bahkan sejarah perjuangan para nabi juga menghadapi tantangan yang sama.

           Ketika menghadapi cemoohan seperti itu, baik dari organda lain, teman-teman terdekat, maupun dari keluarga, dia hanya selalu menjawab bahwa sesungguhnya kampus hanyalah tempat untuk belajar idealisme dan di tengah-tengah masyarakat kelak (mungkin lima atau lima belas tahun kedepan) baru kita akan mempraktekkannya. Olehnya itu katanya, ketika dalam proses belajar idealisme di kampus saja kita tidak becus atau gagal, apalagi nanti ketika kita berada di tengah-tengah masyarakat yang sudah semakin kapitalistik. Dimana kita akan berhadapan dengan mertua yang mungkin tergesa-gesa minta untuk dibiayai naik haji dan umrah, istri yang selalu minta dibelikan  tas Italy terbaru serta mobil yang lebih bagus dari yang tetangga gunakan (istilah orang di kampung “pakaita-ita”), anak-anak yang minta disekolahkan, yang pasti butuh biaya. Serta pahaman masyarakat dominan bahwa orang yang berhasil dilihat dari jabatan, serta harta yang dimilikinya. Terlepas, apakah diperoleh secara halal atau tidak.

laten 2

          Bagi penulis, ukuran kemanusiaan dilihat dari kemampuan kita untuk mengikuti atau mendekati apa yang diajarkan oleh para nabi-nabi yang juga hadir dalam local genius kita, seperti intelektualitas (acca), integritas (getteng), kejujuran (lempu) keberpihakan serta keberanaian (werani) untuk menegakkan kebenaran serta nilai-nilai suci lainnya.

       Salah satu pertanyaaan yang sering muncul di Mahasiswa baru (Maba) adalah apa bedanya organisasi daerah seperti Latenritatta dengan organisasi seperti Himpunan, Bem/ Senat atau organ mahasiswa eksternal seperti: HMI, PMII, LMND, IMM, KAMMI dan lainnya. Secara filosofis atau hakekat pendiriannya, sama-sama ingin mencetak mahasiswa yang tercerahkan. Dimana secara etimologi, mahasiswa berasal dari dua kata, yaitu MAHA yang artinya: luas, besar, komprehensif, sedangkan SISWA artinya pelajar. Berarti Mahasiswa adalah pelajar yang luas ilmunya. Bukan pada banyaknya HPnya, banyak baju barunya atau banyak pacarnya. Jadi ukuran apakah kita mahasiswa atau seolah-olah mahasiswa sangat terkait dengan intelektualitas. Puncak dari intelektualitas adalah kearifan. Jadi intelektualitas, tidak hanya dilihat dari wacana, kemampuan berbicara atau bawa materi, tapi juga kemampuan kita untuk mempertangggung jawabkan apa yang pernah kita bahasakan. Dari hal tersebut dapat ditarik benang merah bahwa tidak terpisah antara ilmu pengetahuan dengan prilaku seseorang.

        Bukan banyak bicara Tuhan, tapi pada saat masuk waktu menyembah Tuhan (salat) masih sibuk main domino, bukan banyak bicara kearifan tapi pendendam dan egois, bukan ceramah tentang nilai-nilai kebenaran Tuhan dan nabinya, tapi diam terhadap kemiskinan, penggusuran. Bukan bicara idealisme, tapi pasrah terhadap korupsi para pejabat, bukan bicara pencerahan tapi tidak punya sikap untuk menolak komersialisasi pendidikan berkedok BHP(Badan Hukum Pendidikan) maupun Undang-undang Perguruan Tinggi. Bukan pula bicara kebenaran tapi membiarkan agama dijadikan sebagai alat legitimasi para penguasa dengan menjual ayat-ayat suci Tuhan. Bukan pula bicara pengkaderan tapi habis waktu untuk main game. Bukan bicara keteladanan, tapi lain perkataan dan lain pula perbuatan(dalam filsafat Bugis disapa dengan ada na gau)

        Sebagai bahasa doa, semoga dalam Mubes Latenritatta kali ini, bisa menjadi tempat untuk kembali merefleksikan landasan filosofis didirikannya Latenritatta, yang awalnya hanyalah kelompok belajar anak Bone Unhas. Bahwa Latenritatta, menurut para pendirinya, hadir untuk menjawab masalah-masalah Mahasiswa Bone Unhas serta menjawab masalah masyarakat Bone, seperti: 1)  membangun kebersamaan; 2) menjadi agen kontrol pemerintah demi terwujudnya kesejahteraan di tengah rakyat; 3) menciptakan spirit intelektualitas mahasiswa Bone Unhas, bahwa anak Bone di Makassar maupun di Unhas tidak hanya jago buat spanduk, pasang pamflet, buat bazar, urus seksi konsumsi, serta tidak hanya mengekor pada orang lain. Tapi lebih dari itu, anak Bone Unhas mampu memperlihatkan kepada semua bahwa kita pun bisa tampil dengan intelektualitas, kita masih berada digaris terdepan disetiap agenda gagasan dan gerakan. Fakta sejarah bahwa dulu pernah hampir semua ketua BEM fakultas dan beberapa Ketua BEM Universitas di Unhas berasal dari Latenritta menjadi persaksian yang seksi bahwa kita bisa menjadi pemimpin dimanapun, bukan karena dipaksakan, tapi karena kelayakan.

laten 3

Untuk para kandidat yang mulia                                                                                                                        Ada beberapa syarat yang harus dimiliki oleh para kandidat PMB UH LATENRITATTA yaitu:

  • Memahami Falsafah Bugis Bone

        Menurut penulis (maaf klo keliru), para kandidat perlu memahami Falsafah Bugis Bone, karena realitas yang ada memperlihatkan bahwa telah terjadi distorsi (pergeseran makna) terhadap beberapa nilai Bugis Bone. Seperti: Weranie (keberanian) yang oleh beberapa pihak ditafsirkan bahwa secara sejarah kita disegani karena jago berkelahi, makanya ketika ada masalah diselesaikan dengan pola komunikasi terendah tersebut (berkelahi). Padahal sebenarnya Latenritatta disegani dan terkenal dengan kecerdasan dan kearifannya. Jadi keberanian adalah wujud dari kearifan, kecerdasan dan kecintaannya terhadap kebenaran, keadilan dan kemanusiaan. Bukan untuk menjadi penindas ato jagoan dalam makna sempit.

  • Bisa menjadi teladan

Pemimpin tak ubahnya guru, orang yang patut untuk digugu (dipatuhi) dan ditiru (M. Alfan Alfian, Menjadi Pemimpin Politik, 2009).

       Dalam hal ini adalah baik dari segi kognitif (pengetahuan), afektif (watak), maupun psikomotirik (tindakan). Dari segi kognitif, para kandidat sebaiknya memiliki pengetahuan yang lebih dibanding dengan orang (rakyat) yang ingin dipimpinnya, karena pemimpin adalah tempat berteduh, mengeluh, serta bertanya dari para rakyatnya.

          Dari segi afektif, kandidat harus memilki watak yang baik, misalnya: tidak suka pelihara musuh, apalagi memperbanyak musuh, tidak mudah tersinggung (mojjo), pemaaf (mampu memaafkan orang lain, sebelum orang tersebut minta maaf), bijak melihat masalah, dan memiliki tanggung jawab.

       Dari segi psikomotorik, para kandidat harus memiliki kemampuan mengeksekusi kebijakan secara cepat dan tepat sehingga rakyat mendapatkan pelayanan yang maksimal.

laten 1

  • Memahami Falsafah (hakekat) Berlembaga

        Realitas yang ada, terkadang ada orang yang kecewa menjadi pengurus, bahkan menyesal atas pengorbanan yang pernah dilakukannya. Ada pula orang yang melewati masa kepengurusannya dengan penuh keterpaksaan, mudah stres, mudah tersinggung, selalu tampak pusing, semangatnya selalu naik turun.

          Banyak pula organisasi kemahasiswaan, termasuk organda yang tidak bisa maju-maju karena didalamnya dipenuhi oleh orang-orang yang egois. Seperti: orang sok cerdas, sok cantik, sok gagah, sok pendekar, maupun sok beriman. Menurut penulis, hal tersebut disebabkan karena pengurus maupun pemimpinnya tidak memahami hakekat (falsafah) berlembaga, dia belum mampu menjawab pertanyaan dasar: “KENAPA KITA MESTI BERLEMBAGA”.

             Secara umum ada dua jenis ibadah, yaitu ibadah individu (mis: shalat, puasa bagi yang muslim) dan ibadah sosial (membantu sesama, berjuang untuk keadilan, dll). Nah, berlembaga adalah ibadah sosial, karena kita tidak di gaji tapi kita berjuang melakukan program yang berguna bagi banyak orang. Itulah salah satu cara kita untuk membuat para malaikat tersenyum.

  • Pro terhadap Pengkaderan

         Sejarah telah menggoreskan bahwa satu hal yang sangat membedakan organisasi daerah PMB UH Latenritatta dengan organda yang lain, yaitu kemampuannya untuk menjaga nilai universal, nilai-nilai keabadian, yang biasa disapa dengan idealisme (termasuk independensi lembaga) dari agenda politik praktis. Laten belum pernah “menjual gerakan”. PMB UH Latenritatta sampai hari ini masih “perawan”, belum pernah dikotori oleh agenda politik praktis. Itulah mutiara yang telah dititipkan oleh para pendiri dan pengurus-pengurus sebelumnya (kanda-kanda kita)-semoga Tuhan melindungi, memberi konsistensi dan membalas jasanya.

          Tapi satu hal yang perlu menjadi kecemasan bersama sebagai warga Laten adalah jangan sampai idealisme yang ada di pengurus maupun warga Laten adalah idealisme terberi (idealisme ikut-ikutan), bukan berangkat dari suatu kesadaran atau pengetahuan. Olehnya itu, ke depan, Latenritatta membutuhkan pemimpin yang mampu melanjutkan pondasi pengkaderan yang telah dibuat oleh pengurus sebelumnya, karena pengkaderan adalah suatu proses untuk membentuk jiwa. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Soekarno bahwa “aku harus memberi rakyatku makanan untuk jiwanya bukan hanya untuk perutnya” (Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, 2007).

         Demikianlah beberapa curhat (masukan) penulis kepada para kandidat ketua umum PMB UH Latenritatta, semoga teman-teman mencalonkan diri bukan karena terpaksa, bukan pula karena motif ego diri yang berlebihan, tapi berangkat dengan spirit ego semesta, ego Nilai atau ego Tuhan.

       Berangkat dari kesadaran dan hasil refleksi (perenungan) bahwa teman-teman ingin menjadi percikan cahaya ditengah kegelapan sehingga dapat terbedakan antara kebenaran dan kebatilan.

       Tulisan ini sebagai media silaturahmi dan bentuk terima kasih penulis kepada Latenritatta. Karena ada hal suci yang dimilikinya. Dan sebagai masukan untuk para kandidat, yang mungkin punya mimpi untuk menjadi yang terbaik dan menjadi penjaga Nilai di Bumi (organisasi) Latenritatta.

By: A. Zulkarnain*

*Dewan Pendiri Rumah Baca Phiosophia (Makassar) dan

Rumah Baca Bukuta Philosophia (Bone)

*Koordinator Dewan Presidium Forum Kampung Bahasa Sulawesi (FKBS)

*Pendiri Portal www.mahasiswaindonesia.com

*Pengurus PMB UH Latenritatta (2005-2006 dan 2006-2007)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *