POLISINYA MANUSIA (II)

Menjelang idul fitri kemarin, publik negeri ini dikagetkan dengan adanya bom bunuh diri di salah satu pos polisi di Solo. Diduga target dari aksi tersebut adalah polisi. Kejadian tersebut kembali menjelaskan bahwa ada sekelompok orang yang mengatasnamakan Islam yang begitu membenci polisi. Mereka menghalalkan segala cara untuk menghabisi pihak yang dianggap musuh.

Ada hal menarik yang terjadi di Bone, Sulawesi selatan, karena polisinya akrab dengan semua golongan. Cerita bom bunuh diri diatas tidak ditemukan di Bone. Hal tersebut tidak lepas dari seorang figur kepolisian yang menjadi buah bibir masyarakat belakangan ini, yakni Pak Kadar Islam Kasim. Dia adalah orang nomor satu di Kepolisian Resor (Polres) Bone.

Kadar Islam cukup mudah diterima oleh kalangan Islam, bahkan sebelum orang bertemu dengannya. Dengan melihat atau mendengar namanya, maka sudah menyejukkan bagi umat Islam dengan latar aliran apapun. Namanya saja sudah merangkul semua kelompok dalam Islam yang merupakan agama dominan di sana.  

Orang akan semakin simpati kepadanya saat bertemu langsung karena kemampuannya untuk mengambil hati seseorang. Ia tidak memposisikan dirinya sebagai pejabat penting di kepolisian. Ia seperti orang biasa, berdialog dengan semangat egaliter.

Setiap bertemu warga, dia selalu mengajak untuk jalan-jalan ke kantornya, hanya untuk sekedar minum teh,  katanya. Jangan ke kantor kalau baru ada masalah. Itulah tafsir dia tentang pentingnya silaturahmi dan mengayomi. Dia juga selalu terbuka untuk berbagai saran dan kritik. Jika saya mudik saya selalu menyempatkan ke kantor atau ke rumahnya untuk berdiskusi serta memberi masukan untuk kebaikan polisi dan tanah kelahiran.

Berdiskusi dengan Kapolres Bone, Bapak Kadar Islam

Jiwa Sosial Polisi

Dia juga mempelopori gerakan empati Rp 2.000 rupiah oleh anggota Polres tiap harinya untuk kaum dhuafa. Dana yang terkumpul digunakan untuk membiayai agenda bakti sosial, seperti menyantuni tunanetra yang lumpuh, serta berbagi nasi dos kepada warga pada tiap hari jumat. Pada momen tersebut, polisi juga menyampaikan pesan-pesan Kamtibmas kepada warga untuk tetap menjaga keamanan dan ketertiban

Baru-baru ini, Pak Kapolres terlibat dalam kegiatan penggalangan dana untuk Mts Majang. Sekolah yang sudah berumur lebih satu dekade yang sebagian ruang belajarnya pernah runtuh dan hampir menimpa murid yang sedang belajar tentang Tuhan, manusia dan alam semesta.

Jika polisi aktif dalam agenda sosial, bukan hanya membawa manfaat bagi masyarakat yang tidak mampu, tapi juga bisa menjadi ajang pengkaderan bagi tim kepolisian. Dengan wewenang yang dimandatkan oleh konstitusi untuk bisa menghukum seseorang, maka polisi bisa tergoda untuk menyalahgunakan kekuasaannya. Menyaksikan derita rakyat adalah bagian dari ikhtiar menjaga jiwa aparat agar selalu setia pada Tribrata Polri.  

Kapolres Bone, Kadar Islam Kasim sedang ceramah di Masjid (https://tribratanews.bone.sulsel.polri.go.id)

Polisi dan Konteks

Di momen mudik kemarin, saya mendengar cerita dari beberapa aktivis mahasiswa, bahwa saat mereka demo, polisi tidak datang untuk membubarkan, tapi justru datang membawa nasi dos. Itu yang membuat mereka segan dan hormat kepada kepolisian, karena polisi memahami bahwa semangat dari aksi mahasiswa adalah untuk kebaikan daerah dan masyarakat. Banyak kasus aksi yang chaos karena di saat peserta aksi sedang lelah dan lapar, polisi datang untuk menekan dan memaksa pembubaran. Pendekatan Kapolres Bone dengan membawakan makanan, mengajak ngobrol peserta aksi melahirkan kesan positif. Pendekatan tersebut sesuai dengan konteks Bone yang dikenal sebagai “Kota Beradat”.

Dia dan staf juga punya program “imam masjid keliling”. Jadi polisi tidak hanya ada di kantor atau di posnya, tapi berkeliling menyapa warga, termasuk memimpin masyarakat untuk “menyapa Tuhan” di momen lima waktu. Setelah shalat, dilanjutkan dengan ceramah singkat tentang kondisi daerah, dan pentingnya untuk bersama-sama menjaga ketertiban dan keamanan. Pendekatan polisi yang aktif shalat berjamaah dan menjadi imam shalat, sesuai dengan konteks masyarakat Bone yang dikenal religius.

Kapolres Bone menyantuni seorang tunanetra lumpuh di Kec Cina, Bone (https://makassar.tribunnews.com)

Kapolres juga pernah mensponsori kegiatan pameran pusaka bekerja sama dengan pekerja seni dan budayawan. Bone di kenal sebagai “ the soul of Boegis”, makanya polisinya tak hanya harus memahami hukum positif, tapi juga mengerti tentang nilai-nilai budaya yang sudah tumbuh jauh sebelum Indonesia merdeka serta Kepolisian Republik Indonesia terbentuk. Demikianlah aparat negara, harus memiliki kemampuan bekerja sesuai dengan konteks. Sebagaimana nasehat bijak, dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”.  

Kadar Islam telah berhasil memberi pemahaman kepada masyarakat tentang reformasi kepolisian dalam paradigma polisi sipil. Polisi yang menjadi pengayom, serta bersih dan bebas dari KKN, guna terwujudnya penegakan hukum yang objektif, transparan, akuntabel, dan berkeadilan. Caranya sangat canggih, karena langsung mencontohkannya.

Polisi yang memanusiakan manusia adalah syarat menuju republiknya manusia.

Salam

www.republikmanusia.com

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *