IBU YANG DI SANA

Semoga di alam sana ibu selalu dalam dekapan Rahman Rahim Tuhan.

Terimakasih telah menjadi alat Tuhan untuk saya bisa masuk dalam kehidupan dunia. Pada proses panjang itu, ibu mengorbankan banyak hal. Ibu harus menahan ego, antara makan masakan kesukaan atau mengonsumsi makanan yang dibutuhkan oleh janin. Ibu harus tidur dalam posisi tertentu, dll.

Terimakasih telah mengajari saya tafsir agama yang selalu bergembira melihat semua manusia menyembah Tuhannya. Agama digunakan sebagai media untuk menjalani hidup yang sejuk, yang saling memuliakan.

Ibu mungkin salah satu guru agama (Islam) terlama di di Kampung karena ayah saya pun juga adalah mantan murid ibu di STM. Sejak SD sampai SMA selalu saja ada guru saya yang pernah menjadi murid ibu. Mereka semua menjadi semacam tim inti pengaderan yang memantau segala gerik gerak saya di sekolah. Makanya, sekiranya saya nakal, maka nakalnya dalam pantauan dan kontrol.

Tak banyak kebaikan yang bisa saya lakukan ketika ibu masih menjalani proses bernafas dan bertasbih di atas bumi Allah. Olehnya itu, saya selalu meniatkan beberapa hal baik sesederhana apapun yang saya terlibat di dalamnya, semoga bisa menjadi lilin di sana.

Pada ibu saya belajar, bahwa setiap kebaikan orang harus dibalas dalam berbagai bentuk. Misalnya di lemari, ibu selalu menyiapkan susu, biskuit, gula, dll. Jika ada tamu datang membawa hadiah makanan, maka ibu bisa segera membalasnya dengan memberikan hal yang sama bahkan lebih banyak dari yang dibawa. Terakhir saya memahami ajaran tanah bugis itu, bahwa jika ada yang memberimu satu kebaikan, maka balaslah ia tiga kebaikan.

Pada ibu saya belajar untuk sebisa mungkin jangan mau bermusuhan sama orang. Jika ada keluarga yang bermusuhan, ibu selalu mendatangi mereka silaturahmi, bahkan demi menjaga perasaan dua kubu itu, ibu kadang datang sembunyi-sembunyi. Pada sikap itu saya memetik hikmah bahwa semua manusia memiliki kebaikan, tinggal bagaimana kita menjalin hubungan untuk saling menumbuhkan kebaikan itu. Bahwa tiap orang memiliki sisi lemah, disitulah kita perlu membuat sistem atau mengatur jarak agar itu tidak mengganggu kita. Hidup adalah seni mengumpulkan kebaikan orang untuk mewujudkan kebaikan yang lebih besar. Keburukan dalam konteks individu, biarlah Tuhan yang menilai.

Foto: Hipwee


Pada ibu saya belajar. Begitu banyak siswa ibu yang diperlakukan seperti anak, sehingga ketika mereka sudah sukses menjadi guru, kepala sekolah, birokrat, dll mereka masih sering berkunjung ke rumah. Bahkan ketika ibu sudah tidak di dunia, mereka masih ada yang berusaha berkontribusi saat saya menikah. Ada yang nyumbang undangan, dll. Katanya mereka melakukan itu karena mereka bisa seperti sekarang karena kebaikan ibu. Pada kisah itu saya belajar, bahwa benar kata orang bijak,  menghidupkan kebaikan tak akan pernah habis, ia akan terus hidup menembus tembok waktu.

Pada ibu saya belajar memaknai harta. Beberapa warisan dari nenek. Hampir tak pernah ibu membahasnya bahwa yang ini untuk itu, yang itu untuk ini, dst. Ibu lebih mengajak kami untuk mensyukuri yang ada yang merupakan hasil keringat sendiri antara bapak dan ibu.

Terimaksih karena saat saya masih kecil dan belum masuk usia sekolah, ibu selalu mengajak saya ikut menemani ibu mengajar di SPG Watampone. Di sana saya belajar indahnya dunia pendidikan. Profesi yang bertujuan untuk membuat manusia memahami hakekat kemanusiaannya. Di kampus kami menyebutnya dunia pengaderan. Dunia yang harus selalu dekat dengan buku, diskusi, dan perenungan. Suatu dunia yang sangat mewah sampai detik ini.

Nama Ummu Kalsum, sepertinya sudah sesuai niat pemberiannya, bagaimana menjadi manusia yang memberi manfaat seperti putri ketiga Rasulullah saw. Semoga disana ibu bisa bersama dengan pemilik sejati nama tersebut, serta bersama ayahnya, Muhammad saw.

Amin.

Selamat Hari Ibu, Bu

Anakmu

A.Zulkarnain

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *